BAB I
PENDAHULUAN
Ria Tustina, et al.
A.
Latar Belakang
Dengan kemajuan teknologi di abad ini, kematian yang disebabkan penyakit
infeksi berkurang, sedangkan penyakit sistem kardiovaskuler terus meningkat. Berkurangnya penyakit infeksi ini
kiranya disebabkan beberapa faktor antara lain perbaikan sosioekonomi masyarakat, pemberantasan kuman penyakit yang efektif disertai dengan tindakan
pencegahan penularan penyakit yang lebih baik, ditemukannya obat-obat antibiotika yang baru, meningkatnya penyuluhan kesehatan dan majunya promosi pengetahuan kesehatan.
Pada saat ini di negara yang maju, penyakit sistem kardisvaskuler merupakan
penyebab kematian yang paling utama. Penyakit sistem kardiovaskuler yang pada
saat ini merupakan masalah di masyarakat yang perlu segera ditangani adalah
penyakit tekanan darah tinggi.
Mengingat prevalensinya cukup tinggi dan pada umumnya sebagian besar penderita
tidak mengetahui bahwa dirinya menderita tekanan darah tinggi, kadang-kadang
tekanan darah tinggi ini diketemukan secara kebetulan waktu penderita datang ke dokter untuk memeriksakan penyakit lain: Di Indonesia prevalensi tekanan
darah tinggi cukup tinggi, meskipun tidak setinggi di negara-negara yang sudah
maju, yaitu sekitar 10%( Silbernagl, 2007): Sedangkan WHO memperkirakan bahwa 20% dari umat manusia yang berusia
setengah baya menderita tekanan darah tinggi (Sherwood, 2001) Bila penyakit tekanan darah tinggi tidak diobati, tekanan darah semakin
meningkat dengan bertambahnya umur penderita, dan tekanan darah yang terus
meningkat dapat memberikan komplikasi pada jantung, ginjal dan otak penderita.
Oleh sebab itu penyakit tekanan darah tinggi harus segera ditanggulangi. Usaha
menanggulangi penyakit tekanan darah tinggi ini cukup serius baik di dalam
maupun di luar negeri.
B.
Tujuan Pembelajaran
Adapun
tujuan pembelajaran dalam skenario ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui patofisiologi,
patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada hipertensi dan gagal jantung.
2.
Mengetahui hubungan antara faktor
resiko dengan gangguan pada hipertensi dan gagal jantung.
3.
Menentukan
diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
4.
Mengetahui cara
pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem kardiovaskuler.
C.
Skenario
Seorang laki-laki berusia 54
tahun, datang ke RS dengan keluhan sesak nafas, kumat-kumatan sejak 1 bulan
yang lalu, memberat sejak 1 minggu terakhir. Sesak nafas dirasakan timbul saat
aktifitas ringan dan saat berbaring, disertai batuk berdahak berwarna merah
muda/pink, berdebar-debar, sering terbangun saat tidur, kencing berkurang,
kedua kaki tidak membengkak. Satu tahun yang lalu, pernah dirawat dirawat di RS
karena menderita sakit serupa. Kemuadian setelah diberi obat-obatan dan
istirahat di RS, keadaannya membaik.
Pada pemeriksaan fisik
didapatkan data: tekanan darah 180/100mmHg, heart
rate 120x/menit, teratur, frekuensi nafas 32x/menit, suhu badan 36.5oC,
JVP meningkat. Inspeksi menunjukan dinding dada simetris, iktus cordis bergeser
ke lateral bawah. Palpasi: iktus cordis di SIC VI, 2cm lateral line
medioclavicularis sinistra. Perkusi: batas jantung kiri di SIC VI, 2cm lateral
linea medioclavicuaris sinistra, batas jantung kanan di SIC V linea
parasternalis dextra. Auskultasi: bunyi jantung I intensitas meningkat, bunyi
jantung II normal, terdapat irama gallop S3 dan S4. Pemeriksaan paru didapat
vesikuler normal, ronki basah basal halus. Pemeriksaan abdomen: didapatkan
hepatomegali dan ascites.
Pemeriksaan laboratorium kadar
Hb 14gr/dl, serum ureum 65, serum kreatinin 1,4. Pemeriksaan EKG didapatkan
irama sinus takikardi, Left Atrial
Hipertrophy, dan Left Ventricle
Hipertrophy. Foto thorax tampak cardiomegali dengan CTR 0.70, appex
bergeser ke caudolateral, pinggang jantung menonjol, vaskularisasi meningkat.
Pada pemeriksaan analisis gas darah menunjukan asidosis metabolik
terkompensasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tekanan Darah
Tekanan
darah merupakan gaya utama yang mendorong darah ke sel atau jaringan. Tekanan
darah ini harus diatur secara ketat dikarenakan dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong
yang cukup agar organ otak atau jaringan lain menerima aliran darah yang
adekuat. Kedua, tekanan ini tidak boleh terlalu tinggi, sehingga menimbulkan
beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh
darah serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus (Sherwood, 2001).
Ada dua faktor penentu utama tekanan darah yaitu curah jantung (cardiac
output, CO) dan resistensi perifer total. Curah jantung merupakan volume
darah yang dipompakan oleh tiap-tiap ventrikel per menit. Curah jantung ini
dipengaruhi kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Kecepatan denyut
jantung terutama ditentukan oleh adanya perangsangan sistem saraf otonom
simpatis dan parasimpatis. Perangsangan simpatis akan menyebabkan peningkatan
kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraktil sel otot jantung. Volume
sekuncup adalah volume darah yang dipompa per denyut jantung yang didapatkan
dari pengurangan volume diastolik akhir (EDV) dengan volume sistolik akhir
(ESV). Volume sekuncup ini terutama dipengaruhi oleh besarnya aliran balik vena
ke jantung. Volume sekuncup akan meningkat jika terjadi pengisian ventrikel
(EDV) juga meningkat. Selain itu, volume sekuncup juga dipengaruhi oleh adanya
aktivitas simpatis yang akan meningkatkan kontraktilitas jantung yang mengacu
kepada kekuatan kontraksi pada setiap volume diastolik akhir. Selain
dipengaruhi oleh aktivitas simpatis, aliran balik vena juga dipengaruhi oleh
aktivitas pernapasan dan otot rangka, volume darah, dan katup vena (Sherwood, 2001).
Resistensi perifer merupakan tahanan pembuluh darah
(terutama arteriol) terhadap aliran darah. Resistensi ini terutama dipengaruhi
oleh jari-jari pembuluh darah dan viskositas darah. Secara biofisika, bahwa
resistensi perifer dapat dijabarkan dalam sebuah rumus menurut Hukum Pousteille (Sherwood, 2001) yaitu:
Keterangan: R = resistensi perifer
ῃ = viskositas
darah
L = panjang pembuluh
r = jari-jari pembuluh
Dari persamaan di atas
terdapat hubungan-hubungan dimana apabila viskositas darah meningkat akan
menyebabkan peningkatan resistensi dan apabila jari-jari pembuluh semakin kecil
maka resistensi besar. Panjang pembuluh pada persamaan di atas tidak mempunyai
pengaruh yang besar karena panjang pembuluh darah di dalam tubuh relatif
konstan.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi jari-jari pembuluh darah yaitu faktor intrinsik (berupa perubahan
metabolik lokal dan pengeluaran histamin) dan faktor ekstrinsik (berupa kontrol
saraf dan hormon). Perubahan metabolik yang dapat menyebabkan relakasasi otot
polos arteriol (vasodilatasi) adalah pengingkatan CO2 dan asam serta
osmolaritas, penurunan O2, pengeluaran prostaglandin dan adenosin.
Histamin merupakan mediator kimiawi lokal yang menyebabkan relaksasi otot polos
arteriol sehingga terjadi vasodilatasi pada daerah lokal tersebut. Peningkatan
aktivitas simpatis meimbulkan vasokontriksi arteriol dimana serat-serat saraf
ini mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh, kecuali di otak. Hormon
yang berpengaruh terhadap jari-jari pembuluh adalah norepinefrin dan epinefrin
yang dihasilkan oleh medulla adrenal yang dirangsang oleh adanya perangsangan
simpatis. Selain itu, hormon angiotensin II dan vasopressin menyebabkan adanya
retensi garam dan air dan vasokontriksi pembuluh darah (Silbernagl, 2007).
B.
Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan arteri yang tinggi dan abnormal pada sirkulasi
sistemik dengan nilai sistole minimal 140 dan diastole 90. Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu : 1.
primer : hipertensi yang belum jelas penyebabnya; 2. sekunder : hipertensi yang
disebabkan oleh penyakit lain. Sebagian besar pasien hipertensi termasuk
kategori primer (90%). Berikut kriteria hipertensi (Cutler, 2008).
Kategori
|
Sistolik (mmHg)
|
Diastolik (mmHg)
|
Normal
|
< 130
|
< 85
|
Normal Tinggi
|
130 – 139
|
85 – 89
|
Hipertensi
|
||
Stadium 1
|
140 – 159
|
90 – 99
|
Stadium 2
|
160 – 179
|
100 – 109
|
Stadium 3
|
180 – 209
|
110 – 119
|
Stadium 4
|
> 210
|
> 120
|
Tabel 1. Kategori Hipertensi. Cutler, Jeffrey
A., et al. . 2008. Trends in Hypertension Prevalence,
Awareness, Treatment, and Control Rates in United States Adults Between 1988
1994 and 1999 2004.
1.
Patofisiologi
Berdasarkan
hukun ohm tekanan darah arteri = Curah jantung (CO) x Resistensi Perifer Total
(TPR). Maka jika ada peningkatan pada CO dan TPR, tekanan arteri akan
meningkat. Contoh peningkatan CO adalah pada perangsangan jantung yang
berlebihan oleh katekolamin, sedangkan peningkatan TPR pada perangsangan
angiotensin II pada arteri (Silbernagl, 2007).
2.
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi
menjadi 2 Yaitu :
·
Hipertensi primer / Hipertensi esensial
tidak diketahui penyebabnya disebut juga hipertensi idiopatik. →
Terdapat sekitar 95 % kasus
Faktor yang mempengaruhuinya seperti :
Genetik, Lingkungan,
Hiperaktivitas susunan saraf simpatis,
Sistem renin-angiotensin, Defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan
faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok
·
Hipertensi
sekunder atau hipertensi renal.
Terdapat 5 % kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti
Penyakit Ginjal ( Stenosis arteri
renalis, Pielonefritis, Glomerulonefritis, Tumor-tumor ginjal, Penyakit ginjal
polikista (biasanya diturunkan), Trauma pada ginjal (luka yang mengenai
ginjal), Terapi penyinaran yang mengenai ginjal, penggunaan estrogen, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, Preeklamsi pada kehamilan, dll
3.
Anamnesis
·
Ditemukan tanda-tanda
hipertensi : kaku tengkuk, kepala berat, sakit kepala.
·
Ada kelainan
organ : mata kabur, sesak nafas, bengkak muka.
·
Pola makan
·
Riwayat
keluarga.
·
Sosial ekonomi.
4.
Pemeriksaan Laboratorium
·
Renal fungsi
tes : BUN, kreatinin dan asam urat.
·
ECG dan foto
thorak
5.
Penatalaksanaan
o Bed rest.
o Diet tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam.
o Medika mentosa :
Tahap 1 : Diuretik (Lasik Injeksi, Furosemid tablet)
Tahap 2 : Diuretik + Beta bloker (propanolol, maintate)
Tahap 3 : Diuretik + Ca Antagonis (Nifedipin, Verapamil, Diltiazem)
Untuk terapi
tambahan bisa juga diberikan adrenolitik sentral dan
vasodilator.
o Terapi komplikasi
o apopleksi cerebri
o retinopati hipertensi
o edema paru akut
o gangguan fungsi ginjal
o Bila desertai faktor emosional diberi minor transquilizer.
Krisis Hipertensi
Tensi >
200/100 mmHg disertai ancaman komplikasi target organ. Merupakan keadaan emergensi sehingga harus diturunkan dalam waktu 1 jam.
Biasanya diberikan nifedipin sublingual dan klonidin injeksi (Hermawan, 2008).
C.
Gagal Jantung Kongestif
Gagal
jantung kongestif adalah suatu
sindroma klinik yang disebabkan oleh berkurangnya volume pemompaan jantung
untuk keperluan relatif tubuh, disertai hilangnya curah jantung dalam
mempertahankan aliran balik vena (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 1994)
1.
Etiologi
·
Kelainan otot jantung
·
Ateriosklerosis koroner
·
Hipertensi sistemik atau pulmonal
·
Peradangan atau degenerative
·
Faktor sistemik : tirotoksikosis,
hipokisa, anemia, asidosis dan ketidakseimbangan elektrolit (Silbernagl, 2007).
2.
Patofisiologi
Bila curah
jantung berkurang, sistem
saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung. Bila gagal maka volume sekuncup akan beradaptasi untuk mempertahankan
curah jantung. Pada gagal
jantung terjadi kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung sehingga curah
jantung normal tidak dapat dipertahankan (Silbernagl, 2007)
3.
Klasifikasi
·
Gagal Jantung Kiri
Gagal
jantung kiri disebabkan oleh penyakit jantung
koroner, penyakit katup aorta dan mitral serta hipertensi. Gagal jantung kiri berdampak pada :paru, ginjal, otak.
koroner, penyakit katup aorta dan mitral serta hipertensi. Gagal jantung kiri berdampak pada :paru, ginjal, otak.
·
Gagal Jantung Kanan
Penyebab
gagal jantung kanan harus juga termasuk semua yang dapat menyebabkan gagal
jantung kiri, seharusnya stenosis mitral yang menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sirkulasi paru. Gagal
jantung kanan dapat berdampak pada : Hati, ginjal, jaringan, subkutis, otak, sistem Aliran aorta(Kusumawidjaja, 1996).
4.
Manifestasi Klinis
Gejala yang
muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dapat
terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi
derap dan bising akibat regurgitasi mitral.
a.
Gagal Jantung Kiri:
·
Dispneu
·
Orthopneu
·
Pariksimal nokturnal dispneu
·
Batuk
·
Mudah lelah
·
Gelisah dan cemas
b.
Gagal Jantung Kanan:
·
Pitting edema
·
Hepatomegali
·
Anoreksia
·
Nokturia
·
Kelemahan
5.
Pemeriksaan dan diagnostik
·
Pada EKG ditemukan hipertropi
ventrikel kiri, kelainan gelombang ST dan T.
·
Dari foto torax terdapat pembesaran
jantung dan bendungan paru.
·
Pada ekhokardiografi terlihat
pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri, kelainan bergerak katup mitral saat
diastolic.
·
Pengukuran tekanan vena sentral
(CVP)
6.
Penatalaksanaan
·
Diuretik dapat menurunkan tekanan
dan volume pulmonal sehingga gejala akan berkurang. Mengingat banyak penderita
tergantung pada meningkatnya tekanan pengisian untuk mempertahankan isi
sekuncup yang adekwat maka harus dihindari pemakaian diuretik berlebihan sebab
bisa menimbulkan keadaan curah jantung yang rendah. Azotemia akibat diuretik
bisa ditemukan pada gagal jantung diastolik.
·
Pemberian nitrat akan memperbaiki
gejala namun pemberiannya harus hati-hati untuk menghindari timbulnya hipotensi.
·
Pemberian penyekat ACE dan antagonis reseptor angiotensin II memperbaiki
volume sekuncup dan menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Dalam hal ini penyekat ACE dapat
memperbaiki relaksasi dan distensibilitas jantung secara langsung dan mungkin
mempunyai efek jangka panjang melalui kerjanya sebagai anti-hipertensi dan
dapat meregresi hipertrofi dan fibrosis miokard.
·
Pemberian
beta-blokade dan antagonis kasium (verapamil) akan memperbaiki pengisian
diastolik dengan memperlambat denyut jantung meskipun pemberiannya harus
hati-hati pada gagal jantung diastolik yang berat. Kedua jenis obat ini
menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri, juga dapat menurunkan morbiditas
dan mortalitas.
·
Pemberian
dobutamine atau milrinone sebaiknya diberikan secara berhati-hati dan dengan
pemantauan hemodinamik invasif oleh karena efek lusitropiknya.
·
Fibrilasi atrium sangat mengganggu pada penderita dengan disfungsi diastolik
dan sering memicu timbulnya dekompensasi. Konversi fibrilasi atrium ke ritme
sinus dan mempertahankannya merupakan hal yang sangat penting (Hermawan, 2008).
D. Analisa Gas Darah
·
Definisi
Analisa Gas Darah
Analisa Gas Darah adalah suatu pemeriksaan melalui darah arteri
dengan tujuan mengetahui keseimbangan asam dan basa dalam tubuh, mengetahui
kadar oksigen dalam tubuh dan mengetahui kadar karbondioksida dalam tubuh.
·
Indikasi
Analisa Gas Darah
Indikasi dilakukannya
pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) yaitu :
o Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik
penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan adanya
hambatan aliran udara pada saluran napas yang bersifat progresif non reversible
ataupun reversible parsial.
Terdiri dari 2 macam jenis yaitu bronchitis kronis dan emfisema,
tetapi bisa juga gabungan antar keduanya.
o Pasien dengan edema pulmo
Pulmonary
edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes
keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini
dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon
dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk.
Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai "air dalam paru-paru" ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien.
Pulmonary
edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau
dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic
pulmonary edema.
o Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)
ARDS
terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang
mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan
perubahan dalarn jaring- jaring kapiler , terdapat ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi yang jelas akibat-akibat kerusakan pertukaran gas dan
pengalihan ekstansif darah dalam paru-.paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam
pembentukan surfaktan , yang mengarah pada kolaps alveolar . Komplians
paru menjadi sangat menurun atau paru- paru menjadi kaku akibatnya
adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional,
hipoksia berat dan hipokapnia ( Brunner & Suddart 616).
o Infark miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan
mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso,
2005).
o Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem
dimana alveoli(mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung
jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan
penimbunan cairan.Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi
infeksi karena bakteri,virus,jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi
karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak
langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan alkohol.
o Pasien syok
Syok merupakan suatu sindrom
klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung
pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor
penentu ini kacau dan faktor lain
tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok juga terjadi
hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel
sehingga seringkali menyebabkan kematian pada pasien.
o
Post pembedahan coronary arteri baypass
Coronary Artery Bypass Graft adalah terjadinya suatu respon inflamasi
sistemik pada derajat tertentu dimana hal tersebut ditandai dengan hipotensi
yang menetap, demam yang bukan disebabkan karena infeksi, DIC, oedem jaringan
yang luas, dan kegagalan beberapa organ tubuh. Penyebab inflamasi sistemik ini
dapat disebabkan oleh suatu respon banyak hal, antara lain oleh karena
penggunaan Cardiopulmonary Bypass (Surahman, 2010).
o
Resusitasi cardiac arrest
Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang
dicetuskan oleh beberapa faktor,diantaranya penyakit jantung koroner, stress
fisik (perdarahan yang banyak, sengatan listrik,kekurangan oksigen akibat
tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan,
perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan
obat-obatan.Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension
pneumothorax. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darahmencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai
oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.Kerusakan
otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan
selanjutnyaakan terjadi kematian dalam 10 menit. Jika cardiac arrest dapat
dideteksi dan ditangani dengansegera, kerusakan organ yang serius seperti
kerusakan otak, ataupun kematian mungkin bisa dicegah.
·
Kontra Indikasi Analisa Gas Darah
o
Denyut
arteri tidak terasa, pada pasien yang mengalami koma (Irwin & Hippe, 2010).
o
Modifikasi
Allen tes negatif , apabila test Allen negative tetapi tetap dipaksa untuk
dilakukan pengambilan darah arteri lewat arteri radialis, maka akan terjadi
thrombosis dan beresiko mengganggu viabilitas tangan.
o
Selulitis
atau adanya infeksi terbuka atau penyakit pembuluh darah perifer pada tempat
yang akan diperiksa
o
Adanya
koagulopati (gangguan pembekuan) atau pengobatan denganantikoagulan dosis
sedang dan tinggi merupakan kontraindikasi relatif.
·
Alat dan Bahan untuk Pengambilan Darah Arteri
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk
pengambilan darah arteri antara lain :
o
Disposible Spuit 2,5 cc, jarum ukuran 23 G/ 25 G
o
Penutup jarum khusus atau gabus
Mencegah kontaminasi dengan udara bebas.
Udara bebas dapat mempengaruhi nilai O2 dalam AGD arteri.
o
Nierbeken/Bengkok
Digunakan untuk
membuang kapas bekas pakai.
o
Anticoagulant Heparin
Untuk mencegah
darah membeku.
o
Alcohol swabs ( kapas Alkohol )
Merupakan bahan dari wool atau kapas yang
mudah menyerap dan dibasahi dengan antiseptic berupa etil alkohol. Tujuan
penggunaan kapas alkohol adalah untuk menghilangkan kotoran yang dapat
mengganggu pengamatan letak vena sekaligus mensterilkan area penusukan agar
resiko infeksi bisa ditekan.
o
Plester
Digunakan untuk fiksasi akhir penutupan
luka bekas plebotomi, sehingga membantu proses penyembuhan luka dan mencegah
adanya infeksi akibat perlukaan atau trauma akibat penusukan.
o
Kain pengalas
Untuk memberi kenyamanan pada pasien
saat plebotomis melakukan pengambilan darah vena.
o
Tempat berisi es batu
Bila laboratorium jauh, maka specimen
darah arteri harus dimasukkan kedalam tempat berisi es batu sebab suhu yang
rendah akan menurunkan metabolism sel darah yang mungkin merubah nilai pH, PCO2,
PO2, HCO3-.
o
Tempat sampah khusus needle
Tempat untuk membuang needle yang sudah
dipakai untuk mengurangi kontaminasi pasien satu dengan pasien yang lain.
·
Antikoagulan yang Digunakan
Antikoagulan yang digunakan dalam
pengambilan darah arteri adalah heparin. Pemberian heparin yang berlebiham akan
menurunkan tekanan CO2.Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas
darah dalam tabung. Sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan CO2
terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin.
·
Lokasi Pengambilan Darah Arteri
o
Arteri Radialis dan Arteri Ulnaris (sebelumnya dilakukan
allen’s test)
Test Allen’s merupakan uji penilaian
terhadap sirkulasi darah di tangan, hal ini dilakukan dengan cara yaitu: pasien
diminta untuk mengepalkan tangannya, kemudian berikan tekanan pada arteri
radialis dan arteri ulnaris selama beberapa menit, setelah itu minta pasien
unutk membuka tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna
jari-jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15
detik, warnamerah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas,
tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan
negative, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
o
Arteri Dorsalis pedis
merupakan arteri pilihan ketiga jika
arteri radialis dan ulnaris tidak bisa digunakan.
o
Arteri Brakialis
Merupakan arteri pilihan keempat karena
lebih banyak resikonya bila terjadi obstruksi pembuluh darah. Selain itu arteri
femoralis terletak sangat dalam dan merupakan salah satu pembuluh utama yang
memperdarahi ekstremitas bawah.
o
Arteri Femoralis
merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri
diatas tidak dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah
akan menghambat aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan bila
yang dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan kematian jaringan.
Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat terjadi
percampuran antara darah vena dan arteri.
Selain itu arteri femoralis terletak
sangat dalam dan merupakan salah satu pembuluh utama yang memperdarahi ekstremitas
bawah.
o
Arteri Femoralis atau Brakialis sebaiknya jangan
digunakan jika masih ada alternative lain karena tidak memiliki sirkulasi
kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme atau thrombosis.
Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena
adanya resiko emboli ke otak.
E.
Elektrokardiografi (EKG)
·
Pembesaran Ventrikel Kiri pada EKG
Pembesaran ventrikel kiri dapat dihitung dari tinggi amplitudo gelombang R
dan S yang ada pada V1 dan V5. Perhitungan untuk menentukan hipertrofi
ventrikel kiri adalah sebagai berikut;
LVH = (ǺS v1 + ǺR v5) ≥ 35 kotak kecil
·
Pembesaran Atrium Kiri pada EKG
Gambaran
elektrokardiografi untuk pembesaran atrium kiri pada V1 ditandai dengan
defleksi negatif gelombang P terminal > 0,04 det (Gambar 1a)4,6 Atau
gelombang P bagian terminal lebih dalam dengan amplitudo > 1mm (Gambar 1b).4
Pada sandapan standar terutama lead II adanya pembesaran atrium kiri ditandai
dengan memanjangnya durasi gelombang P yaitu > 0,11 detik (Gambar 1c)4,6.
Bagian awal dan terminal gelombang P pada lead II ini terlihat terpisah
sehingga berbentuk lelukan (notch) yang disebut dengan P mitral, pada
pembesaran atrium kiri durasi puncak lekukan gelombang p adalah > 0,04 detik
(Gambar1d)
Gambar
1. Pembesaran atrium kiri. Conover MB.
Left Atrial Abnormality. In: Understanding Electrocardiography. 6 th Ed.Mosby Year
Book Inc. USA. 1992: 393 – 4.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada penderita hipertensi,
tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya
vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras
untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah
ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian
mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung.
Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan
jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun
terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi
tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi.
Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel
kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah
jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal
tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan
sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung
hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan
neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+
membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat
partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi
simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah
penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung
menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya
adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk
menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah
yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum
(65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi
penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi
kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar
kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal
(normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi
ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk
mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi
angiotensin I yang selanjutnya oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE) akan diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh
darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II
diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks
adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya
di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang
menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat
retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O.
Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke
jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada
stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut
memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru
semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal
jantung tak terkompensasi. Hal tersebut dapat terjadi karena, pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi
kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun.
Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi,
retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload
tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya
semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik.
Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left
atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel
akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi
mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar
ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya
pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang
bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah
serta foto thorax CTR 0,70. Lama-lama akan terjadi
kongesti di vena pulmonalis. Tekanan yang tinggi pada vena
pulmonalis menyebabkan bronkus terjepit, mengenai pusat refleks batuk sehingga
pasien mengalami batuk. Tekanan
intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi juga dapat menyebabkan cairan terdorong
keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru akan
menghasilkan cairan transudat yang menyebabkan peningkatan sputum. Terdapatnya
darah pada dahak dapat disebabkan karena robeknya atau pecahnya pembuluh darah
pada daerah bronkus. Selain itu, edema paru
menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan
berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang
menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab
pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi
yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi.
Peningkatan JVP pada pasien mungkin dapat disebabkan oleh kembalinya darah
ke dalam atrium kanan karena kegagalan jantung kiri sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan pada vena cava. Peningkatan tekanan pada vena cava inilah
yang menyebabkan JVP pasien mengalami peningkatan.
Pada pasien ditemukan adanya
asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH
akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan
terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan
menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan
ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan
oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian
venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload.
Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis
untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada
penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman
alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga,
dan tidak merokok.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dalam skenario, pasien kemungkinan menderita gagal
jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya. Pasien
mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain
pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban
jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.
B.
Saran
Sebaiknya pasien dalam kasus melakukan terapi non-farmakologis yang dapat
dilakukan dengan mengurangi asupan lemak, garam sera minuman
alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga,
dan tidak merokok. Terapi farmakologis
dan non-farmakologis tersebut hendaknya dilaksanakan secara teratur agar
tekanan darah dapat dikontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Conover MB. Left Atrial Abnormality. In: Understanding
Electrocardiography. 6 th Ed.Mosby Year Book Inc. USA. 1992: 393 – 4.
Cutler, Jeffrey A., et al. .
2008. Trends in Hypertension Prevalence, Awareness,
Treatment, and Control Rates in United States Adults Between 1988 1994 and 1999
2004.
Hermawan, Guntur. 2008. BED SIDE TEACHING.
Surakarta : Kesuma.
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Binarupa Aksara. pp: 1- 404.
Joesoef, H. Andang; Setianti,
Budhi. 2003. Hipertensi Sekunder. In: Buku
Ajar Kardiologi. Jakarta : FK UI.
Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 – 16.
S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp:
176-249.
Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From
Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit.
Jakarta: EGC.
No comments:
Post a Comment