BAB I
PENDAHULUAN
Ria Tustina, et al
I.
Latar
Belakang
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit
dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa
dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan
struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2 golongan besar PJB,
yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-masing
memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.
Angka kejadian PJB dilaporkan sekitar
8–10 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 % diantaranya telah memberikan
gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini
dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan
pertama kehidupan.
Selain PJB, dalam laporan ini kami juga
akan membahas mengenai penyakit jantung rematik. Saat ini banyak kemajuan yang
telah dicapai dalam bidang kardiologi, tetapi demam rematik dan penyakit
jantung rematik masih merupakan problem karena merupakan penyebab kelainan
katup terbanyak, terutama pada anak. Sampai saat ini demam rematik belum dapat
dihapuskan, walaupun kemajuan dalam penelitian dan penggunaan antibiotika
terhadap penyakit infeksi begitu maju. Demam rematik dan penyakit jantung
rematik masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan di
dunia, termasuk Indonesia.
Demam rematik masih sering didapati pada
anak di Negara berkembang. Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik di
Indonesia untuk tahun 1981 – 1990 didapati 3- 8 di antara 1000 anak sekolah.
Dalam laporan WHO Expert Consultation
Geneva, 29 Oktober – 1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004, angka
mortalias untuk penyakit jantung rematik adalah 0,5 per 100.000 penduduk di
negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang. Di daerah
Asia Tenggara diperkirakan angka mortalitasnya 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000 – 332.000 orang meninggal di seluruh dunia karena
demam rematik dan penyakit jantung rematik. Sayangnya dalam laporan WHO yang
diterbitkan tahun 2004 data mengenai demam rematik dan penyakit jantung rematik
di Indonesia tidak dinyatakan.
II.
Skenario
Seorang
laki-laki berusia 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan berdebar-debar.
Berdebar-debar dirasakan sejak 1 jam yang lalu. Tidak merasakan sesak nafas.
Pasien juga mengeluh sering merasakan nyeri pada sendi yang berpindah-pindah.
Sebelumnya pernah mengalami penyakit serupa beberapa tahun yang lalu. Sejak
kecil sering batuk pilek dan cepat lelah, bibir tidak tampak kebiruan. Nafsu
makan sedikit terganggu dan menurut ibunya anak tersebut lahir premature.
Pada
pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 120/80mmHg, denyut nadi 140
x/menit, irregular. Pada inspeksi dinding dada tidak tampak barrel chest. Pada
palpasi ictus cordis teraba di SIC VI 2 cm lateral linea medioclavicularis
kiri, tidak teraba thrill. Pada perkusi batas jantung kiri di SIC VI 2 cm
lateral linea medioclavicularis kiri. Pada auskultasi jantung terdengar
sistolik murmur dengan punctum maxiumum di SIC VI linea axilaris anterior kiri.
Pada extremitas tidak ada bengkak, tidak terlihat jari-jari tabuh maupun
sianosis.
Pemeriksaan
hematologi rutin normal. Pemeriksaan ECG menunjukkan irama atrial fibrilasi
dengan HR 100 x/menit, LAD, LVH, LAH. Pemeriksaan foto thorax PA CTR 0,60. Apex
bergeser ke lateral bawah. Kemudian dokter puskesmas merujuk pasien tersebut
pada dokter spesialis jantung.
Apa
yang sesungguhnya terjadi pada pasien tersebut?
III.
Rumusan
Masalah
1. Apa
hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
2. Apa
hubungan lahir prematur dengan keluhan?
3. Mengapa
muncul berdebar-debar tanpa sesak nafas?
4. Apa
hubungan nyeri sendi yang berpindah-pindah dengan keluhan utama?
5. Mengapa
nyeri pada sendi bisa berpindah-pindah?
6. Mengapa
penyakit pasien bisa kambuh?
7. Apa
hubungan riwayat penyakit sekarang (berdebar-debar) dengan riwayat penyakit dahulu?
8. Mengapa
pada bibir tidak tampak kebiruan?
9. Mengapa
ictus cordis bisa teraba di SIC VI 2 cm lateral linea medioclavivularis kiri?
10. Apa
makna hasil pemeriksaan vital sign, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang?
11. Mengapa
dokter puskesmas merujuk pasien tersebut pada dokter spesialis jantung?
12. Apa
yang sesungguhnya terjadi pada pasien tersebut?
IV.
Tujuan
Penulisan
1. Anamnesis
·
Riwayat penyakit
sekarang (RPS)
¨
Berdebar-debar sejak 1
jam yang lalu
¨
Tidak merasakan sesak
nafas
¨
Nyeri sendi yang
berpindah-pindah
·
Riwayat penyakit dahulu
¨
Pernah mengalami
penyakit serupa beberapa tahun yang lalu
¨
Sejak kecil sering
batuk pilek dan cepat lelah, bibir tidak tampak kebiruan
¨
Lahir prematur
¨
Nafsu makan terganggu
2. Pemeriksaan
fisik
·
Vital sign
¨
Tekanan darah 120/80
mmHg
¨
Denyut nadi 140
x/menit, ireguler
·
Inspeksi
¨
Pada dinding dada tidak
tampak barrel chest
¨
Pada extremitas tidak
ada bengkak
¨
Tidak terlihat jari
tabuh maupun sianosis
·
Palpasi
¨
Ictus codis teraba di
SIC VI 2 cm lateral linea medioclavicularis kiri
¨
Tidak teraba thrill
·
Perkusi
¨
Batas jantung kiri di
SIC VI 2 cm lateral linea medioclavicularis kiri
·
Auskultasi
¨
Terdengar sistolik
murmur dengan punctum maximum di SIC VI linea axillaris anterior kiri
3. Pemeriksaan
penunjang
·
Pemeriksaan hematologi
rutin: normal
·
Pemeriksaan ECG
¨
Irama atrial fibrilasi
dengan HR 100 x/menit
¨
LAD
¨
LVH
¨
LAH
·
Pemeriksaan foto thorax
PA
¨
CTR 0,60
¨
Apex bergeser ke
lateral bawah
4. Diagnosis
banding
·
Etiologi
·
Epidemiologi
·
Patofisiologi
5. Tatalaksana
·
Medikamentosa
·
Non medikamentosa
6. Prognosis
V.
Hipotesis
Kami mendiagnosis pasien tersebut
mengalami penyakit jantung bawaan asianotik dan kelainan katup jantung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Penyakit
Jantung Bawaan
a. Definisi
Menurut
Prof. Dr. Ganesja M Harimurti, Sp.JP (K), FASCC, dokter spesialis jantung dan
pembuluh darah di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, mengatakan bahwa PJB adalah
penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan akibat proses pembentukan
jantung yang kurang sempurna. Proses pembentukan jantung ini terjadi pada awal
pembuahan (konsepsi). Pada waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di dalam
kandungan, ada kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung
pada janin ini terjadi pada usia tiga bulan pertama kehamilan, karena jantung
terbentuk sempurna pada saat janin berusia empat bulan (Dhania, 2009)
b.
Epidemiologi
Angka
kejadian PJB dilaporkan sekitar 8–10 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 %
diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila
tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya
akan terjadi pada bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis
PJB telah dideteksi dalam masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan,
sedangkan di negara berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih
besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal
sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat diperlukan
pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta
tindakan bedah yang diperlukan. Untuk memperbaiki pelayanan di Indonesia,
selain pengadaan dana dan pusat pelayanan kardiologi anak yang adekwat,
diperlukan juga kemampuan deteksi dini PJB dan pengetahuan saat rujukan yang
optimal oleh para dokter umum yang pertama kali berhadapan dengan pasien.
c. Klasifikasi
i.
PJB non sianotik
Penyakit jantung bawaan
(PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa
lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat jantung
sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung
dan penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya
lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis
yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan
serta tahanan vaskuler paru. PJB non sianotik dapat dibagi lagi menjadi:
1. PJB
non sianotik dengan pirau dari kiri ke kanan
Masalah
yang ditemukan pada kelompok ini adalah adanya aliran pirau dari kiri ke kanan
melalui defek atau lubang di jantung yang menyebabkan aliran darah ke paru
berlebihan. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari yang asimptomatik
sampai simptomatik seperti kesulitan mengisap susu, sesak nafas, sering
terserang infeksi paru, gagal tumbuh kembang dan gagal jantung kongestif.
v Ventricular Septal Defect (VSD)
Pada
VSD besarnya aliran darah ke paru ini selain tergantung pada besarnya
lubang, juga sangat tergantung pada tingginya tahanan vaskuler paru. Makin
rendah tahanan vaskuler paru makin besar aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada
bayi baru lahir dimana maturasi paru belum sempurna, tahanan vaskuler paru
umumnya masih tinggi dan akibatnya aliran pirau dari kiri ke kanan terhambat
walaupun lubang yang ada cukup besar. Tetapi saat usia 2–3 bulan dimana proses
maturasi paru berjalan dan mulai terjadi penurunan tahanan vaskuler paru dengan
cepat maka aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah. Ini menimbulkan
beban volume langsung pada ventrikel kiri yang selanjutnya dapat terjadi gagal
jantung (Roebiono, 2003).
v Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada
PDA kecil umumnya anak asimptomatik dan jantung tidak membesar. Sering
ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin dengan adanya bising kontinyu
yang khas seperti suara mesin (machinery murmur) di area pulmonal, yaitu
di parasternal sela iga 2–3 kiri dan di bawah klavikula kiri. Tanda dan gejala
adanya aliran ke paru yang berlebihan pada PDA yang besar akan terlihat
saat usia 1–4 bulan dimana tahanan vaskuler paru menurun dengan cepat. Nadi
akan teraba jelas dan keras karena tekanan diastolik yang rendah dan tekanan
nadi yang lebar akibat aliran dari aorta ke arteri pulmonalis yang besar saat
fase diastolik. Bila sudah timbul hipertensi paru, bunyi jantung dua komponen
pulmonal akan mengeras dan bising jantung yang terdengar hanya fase sistolik
dan tidak kontinyu lagi karena tekanan diastolik aorta dan arteri pulmonalis
sama tinggi sehingga saat fase diastolic tidak ada pirau dari kiri ke kanan.
Penutupan PDA secara spontan segera setelah lahir sering tidak terjadi pada
bayi prematur karena otot polos duktus belum terbentuk sempurna sehingga tidak
responsif vasokonstriksi terhadap oksigen dan kadar prostaglandin E2 masih
tinggi. Pada bayi prematur ini otot polos vaskuler paru belum terbentuk dengan
sempurna sehingga proses penurunan tahanan vaskuler paru lebih cepat dibandingkan
bayi cukup bulan dan akibatnya gagal jantung timbul lebih awal saat usia
neonatus (Roebiono, 2003).
v Atrial Septal Defect (ASD)
Pada ASD presentasi klinisnya agak berbeda
karena defek berada di septum atrium dan aliran dari kiri ke kanan yang terjadi
selain menyebabkan aliran ke paru yang berlebihan juga menyebabkan beban volum
pada jantung kanan. Kelainan ini sering tidak memberikan keluhan pada anak
walaupun pirau cukup besar, dan keluhan baru timbul saat usia dewasa. Hanya
sebagian kecil bayi atau anak dengan ASD besar yang simptomatik dan
gejalanya sama seperti pada umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang
berlebihan yang telah diuraikan di atas. Auskultasi jantung cukup khas yaitu
bunyi jantung dua yang terpisah lebar dan menetap tidak mengikuti variasi
pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area pulmonal. Bila aliran
piraunya besar mungkin akan terdengar bising diastolik di parasternal sela iga
4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid. Simptom dan hipertensi paru
umumnya baru timbul saat usia dekade 30 – 40 sehingga pada keadaan ini mungkin
sudah terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru (Roebiono, 2003).
2. PJB non sianotik dengan lesi obstruktif tanpa pirau
Obstruksi
di alur keluar ventrikel kiri dapat terjadi pada tingkat subvalvar, valvar
ataupun supravalvar sampai ke arkus aorta. Akibat kelainan ini ventrikel kiri
harus memompa lebih kuat untuk melawan obstruksi sehingga terjadi beban tekanan
pada ventrikel kiri dan hipertrofi otot miokardium. Selama belum terjadi
kegagalan miokardium, biasanya curah jantung masih dapat dipertahankan, pasien
asimptomatik dan ukuran jantung masih normal. Tergantung beratnya obstruksi
presentasi klinis penderita kelompok ini dapat asimptomatik atau simptomatik.
Yang simptomatik umumnya adalah gagal jantung yang gejalanya sangat bervariasi
tergantung dari beratnya lesi dan kemampuan miokard ventrikel. Gejala yang
ditemukan antara lain sesak nafas, sakit dada, pingsan atau pusing saat
melakukan aktivitas fisik dan mungkin kematian mendadak. Pada keadaan yang
berat dengan aliran darah sistemik yang tidak adekuat, sebelum terjadi
perburukan akan ditandai dahulu sesaat dengan kemampuan mengisap susu yang
cepat menurun dan bayi terlihat pucat, takipnoe, takikardia dan berkeringat
banyak. Adanya penurunan perfusi perifer ditandai dengan nadi yang melemah,
pengisian kapiler yang lambat dan akral yang dingin. Obstruksi pada alur keluar
ventrikel kanan juga dapat berada di tingkat subvalvar atau infundibular,
valvar dan supravalvar sampai ke percabangan arteri pulmonalis. Obstruksi ini
akan menyebabkan terjadinya beban tekanan dan hipertrofi ventrikel kanan.
Penderita kelompok PJB ini umumnya juga asimptomatik kecuali bila obstruksinya
berat dan kemampuan miokard ventrikel kanan menurun. Presentasi klinisnya dapat
berupa gagal jantung kanan seperti edema perifer, hepatomegali dan asites, atau
sindroma curah jantung rendah seperti sulit bernafas, lemah, sakit dada, sinkop
dan mungkin kematian mendadak akibat aritmia. Bila bayi dan anak dengan Patent
Foramen Ovale (PFO) maka mungkin akan terlihat sianosis akibat pirau dari
kanan ke kiri melalui celah ini
ii.
PJB sianotik
Pada PJB sianotik
didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung sedemikian rupa sehingga
sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung darah rendah
oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Terdapat aliran pirau dari kanan
ke kiri atau terdapat percampuran darah balik vena sistemik dan vena
pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangan–kaki
dalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan terlihat bila reduce
haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5 gram %.
PJB sianotik dapat
dibagi lagi menjadi:
1. PJB
sianotik dengan gejala aliran ke paru yang berkurang
Pada PJB sianotik
golongan ini biasanya sianosis terjadi akibat sebagian atau seluruh aliran
darah vena sistemik tidak dapat mencapai paru karena adanya obstruksi sehingga
mengalir ke jantung bagian kiri atau ke aliran sistemik melalui lubang sekat
yang ada. Obstruksi dapat terjadi di katup trikuspid, infundibulum ventrikel
kanan ataupun katup pulmonal, sedangkan defek dapat di septum atrium (ASD),
septum ventrikel (VSD) ataupun antara kedua arteri utama (PDA). Penderita
umumnya sianosis yang akan bertambah bila menangis atau melakukan aktivitas
fisik, akibat aliran darah ke paru yang makin berkurang. Pada keadaan yang
berat sering terjadi serangan spel hipoksia, yang ditandai khas dengan
hiperpnea, gelisah, menangis berkepanjangan, bertambah biru, lemas atau tidak
sadar dan kadang-kadang disertai kejang. Pada kondisi ini bila tidak diatasi
dengan cepat dan benar akan berakibat kematian. Serangan ini umumnya terjadi
pada usia 3 bulan sampai 3 tahun dan sering timbul saat bangun tidur pagi atau
siang hari ketika resistensi vaskuler sistemik rendah. Dapat kembali pulih
secara spontan dalam waktu kurang dari 15–30 menit, tetapi dapat berkepanjangan
atau berulang sehingga menyebabkan komplikasi yang serious pada sistim susunan
saraf pusat atau bahkan menyebabkan kematian. Karena itu diperlukan pengenalan
dan penanganannya dengan segera secara tepat dan baik. Pada anak yang lebih
besar sering juga memperlihatkan gejala squatting, yaitu jongkok untuk
beristirahat sebentar setelah berjalan beberapa saat dengan tujuan meningkatkan
resistensi vaskuler sistemik dan sehingga aliran darah ke paru meningkat.
Contoh PJB jenis ini adalah Tetralogy of Fallot. TF
adalah golongan PJB sianotik yang terbanyak ditemukan yang terdiri dari 4
kelainan, yaitu VSD tipe perimembranus subaortik, aorta overriding, PS
infundibular dengan atau tanpa PS valvular dan hipertrofi ventrikel kanan.
Sianosis pada mukosa mulut dan kuku jari sejak bayi adalah gejala utamanya yang
dapat disertai dengan spel hipoksia bila derajat PS cukup berat dan squatting
pada anak yang lebih besar. Bunyi jantung dua akan terdengar tunggal pada
PS yang berat atau dengan komponen pulmonal yang lemah bila PS ringan. Bising
sistolik ejeksi dari PS akan terdengar jelas di sela iga 2 parasternal kiri
yang menjalar ke bawah clavicula kiri.
2. Penyakit
jantung bawaan sianotik dengan gejala aliran ke paru yang bertambah
Pada
PJB sianotik golongan ini tidak terdapat hambatan pada aliran darah ke paru
bahkan berlebihan sehingga timbul gejala-gejala antara lain tidak mampu
mengisap susu dengan kuat dan banyak, takipnoe, sering terserang infeksi paru,
gagal tumbuh kembang dan gagal jantung kongestif.
v Transposition of the Great Arteries
TGA adalah kelainan
dimana kedua pembuluh darah arteri besar tertukar letaknya, yaitu aorta keluar
dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dari ventrikel kiri. Pada kelainan
ini sirkulasi darah sistemik dan sirkulasi darah paru terpisah dan berjalan paralel.
Kelangsungan hidup bayi yang lahir dengan kelainan ini sangat tergantung dengan
adanya percampuran darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis yang baik,
melalui pirau baik di tingkat atrium (ASD), ventrikel (VSD) ataupun arterial
(PDA). Ada 2 macam TGA, yaitu (1) dengan Intact Ventricular Septum (IVS) atau
tanpa VSD, dan (2) dengan VSD. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi
klinis yang berbeda dari ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya
kelainan serta tahanan vaskuler paru. Penampilan klinis yang paling utama pada
TGA dengan IVS adalah sianosis sejak lahir dan kelangsungan hidupnya sangat
tergantung pada terbukanya PDA. Sianosis akan makin nyata saat PDA mulai
menutup pada minggu pertama kehidupan dan bila tidak ada ASD akan timbul
hipoksia berat dan asidosis metabolik. Sedangkan pada TGA dengan VSD akan
timbul tanda dan gejala akibat aliran ke paru yang berlebih dan selanjutnya
gagal jantung kongestif pada usia 2–3 bulan saat tahanan vaskuler paru turun.
Karena pada TGA posisi aorta berada di anterior dari arteri pulmonalis maka
pada auskultasi akan terdengar bunyi jantung dua yang tunggal dan keras,
sedangkan bising jantung umumnya tidak ada kecuali bila ada PDA yang besar, VSD
atau obstruksi pada alur keluar ventrikel kiri. Neonatus dengan TGA dan
sianosis berat harus segera diberikan infus PGE1 untuk mempertahankan terbukanya PDA sehingga terjadi
pencampuran yang baik antara vena sistemik dan vena pulmonal. Selanjutnya bila
ternyata tidak ada ASD atau defeknya kecil, maka harus secepatnya dilakukan Balloon
Atrial Septostomy (BAS), yaitu membuat lubang di septum atrium dengan
kateter balon untuk memperbaiki percampuran darah di tingkat atrium. Biasanya
dengan kedua tindakan tersebut diatas, keadaan umum akan membaik dan operasi koreksi
dapat dilakukan secara elektif. Operasi koreksi yang dilakukan adalah arterial
switch, yaitu menukar ke dua arteri utama ketempat yang seharusnya yang
harus dilakukan pada usia 2–4 minggu sebelum ventrikel kiri menjadi terbiasa
memompa darah ke paru-paru dengan tekanan rendah.
v Common Mixing
Pada PJB sianotik
golongan ini terdapat percampuran antara darah balik vena sistemik dan vena
pulmonalis baik di tingkat atrium (ASD besar atau Common Atrium), di
tingkat ventrikel (VSD besar atau Single Ventricle) ataupun di tingkat
arterial (Truncus Arteriosus). Umumnya sianosis tidak begitu nyata
karena tidak ada obstruksi aliran darah ke paru dan percampuran antara darah
vena sistemik dan pulmonalis cukup baik. Akibat aliran darah ke paru yang
berlebihan penderita akan memperlihatkan tanda dan gejala gagal tumbuh kembang,
gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal. Gejalanya sama seperti pada
umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang berlebihan dan timbul pada saat
penurunan tahanan vaskuler paru. Pada auskultasi umumnya akan terdengar bunyi
jantung dua komponen pulmonal yang mengeras disertai bising sistolik ejeksi
halus akibat hipertensi pulmonal yang ada. Hipertensi paru dan penyakit
obstruktif vaskuler paru akan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan kelainan
yang lain.
II.
Demam
Rematik dan Penyakit Jantung Rematik
a.
Definisi
Menurut WHO tahun 2001,
Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat karditis rematik.
Menurut Afif. A (2008), PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya
gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat
katup jantung.
Definisi lain juga
mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang
dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup
A pada saluran nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000).
b. Epidemiologi
Angka kesakitan
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) di Amerika Serikat pada tahun 1996,
dilaporkan hamper mencapai 60 juta penderita, dimana 1,8 juta di antaranya
menderita PJR. (Ulfah A., 2000) Statistik rumah sakit di Negara berkembang pada
tahun 1992 menunjukkan sekitar 10%-35% dari penderita penyakit jantung yang
masuk ke rumah sakit adalah penderita DR dan PJR (Afif A., 2008).
Insidens PJR tertinggi
dilaporkan terjadi pada suku Samoan di Kepulauan Hawaii sebesar 206 penderita
per 100.000 penduduk pada periode tahun 1980-1984. (Boestan I.N., 2007)
Prevalens PJR di Ethiopia (Addis Ababa) tahun 1999 adalah 6,4 per 100.000
penduduk pada kelompok usia 5-15 tahun (Asdie A.H., 2000) Dari klasifikasi PJR,
yakni stenosis mitral, ditemukan perempuan lebih sering terkena daripada
laki-laki dengan perbandingan 7:1 (Chandrasoma P, 2006).
Dalam
laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November 2001 yang
diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di
negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah
Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2000-332.000
yang meninggal diseluruh dunia karena penyakit tersebut. Angka disabilitas
pertahun (The disability-adjusted life years (DALYs)1 lost) akibat PJR
diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju hingga 173,4 per 100.000
di negara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. Data insidens DR
yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada beberapa negara data yang
diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insidens per
tahunnya cenderung menurun di negara maju, tetapi di negara berkembang tercatat
berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000 di China. Sayangnya dalam laporan
WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan PJR Indonesia tidak
dinyatakan (Afif. A, 2008 & WHO, 2004).
c. Etiologi
Telah lama diketahui DR
mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada
saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit mempunyai hubungan untuk
terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi
atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130
serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup
A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman Streptococcus
beta hemolitycus grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung,
karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak
penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit
ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup
A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif. A, 2008).
Insidens infeksi Streptococcus
beta hemolitycus grup A pada tenggorokan bervariasi di antara berbagai
negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak
usia 5 -15 tahun.
Beberapa faktor
predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi
yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor genetik,
golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan
perubahan suhu yang mendadak (Park M.K., 1996).
d. Patogenesis
Patogenesis deman rematik akut dan sekuele kroniknya
belum sepenuhnya dipahami. Diduga kuat demam rematik akut adalah suatu reaksi
hipersensitivitas yang dipicu olh Streptococcus beta hemolitycus grup A.
Diperkirakan antibodi yang ditujukan pada protein M streptococcus tersebut
bereaksi silang dengan protein normal yang terdapat di jantung, sendi, dan
jaringan lain. Kenyataan bahwa gejala biasanya belum muncul sampai 2-3 minggu
setelah infeksi dan bahwa streptococcus tidak ditemukan pada lesi mendukung
konsep bahwa DR dan PJR terjadi akibat respon imun terhadap bakteri penyebab.
Karena sifat antigen yang memicu reaksi silang tersebut sulit diketahui pasti,
diperkirakan infeksi streptococcus memicu timbulnya respon autoimun terhadap
antigen host. (Robbins, 2007)
e. Manifestasi
klinis
§
Manifestasi Klinis Mayor
o
Arthritis
Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan
pada DR Akut. Munculnya tiba-tiba dengan nyeri yang meningkat 12-24 jam yang
diikuti dengan reaksi radang. Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti
lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena
menunjukkan gejala-gejala radang seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi,
nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi. Kelainan
pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam beberapa hari
sampai 1 minggu dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu,
tanpa gejala sisa apapun
o
Karditis
Karditis merupakan proses peradangan aktif yang
mengenai endokarditis, miokarditis, dan perikardium. Dapat salah satu saja,
seperti endokarditis, miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis dapat
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan
terdengarnya bising yang berubah-ubah. Ini menandakan bahwa kelainan yang
ditimbulkan pada katup belum menetap. Miokarditis ditandai oleh adanya
pembesaran jantung dan tanda-tanda gagal jantung. Sedangkan perikarditis adalah
nyeri pada perikardial. Bila mengenai ketiga lapisan sekaligus disebut
pankarditis.
Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut.
Gejala dini karditis adalah rasa lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak
tampak sakit meskipun belum ada gejala-gejala spesifik. Karditis merupakan
kelainan yang paling serius pada DR Akut, dan dapat menyebabkan kematian selama
stadium akut penyakit. Diagnosis klinis karditis yang pasti dapat dilakukan
jika satu atau lebih tanda berikut ini dapat ditemukan, seperti adanya
perubahan sifat bunyi jantung organik, ukuran jantung yang bertambah besar,
terdapat tanda perikarditis, dan adanya tanda gagal jantung kongestif.
o
Chorea
Chorea merupakan gangguan sistim saraf pusat yang
ditandai oleh gerakan tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali
disertai kelemahan otot dan emosi yang tidak stabil. Gerakan tanpa disedari
akan ditemukan pada wajah dan anggota-anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan
menghilang pada saat tidur. Chorea biasanya muncul setelah periode laten yang
panjang, yaitu 2-6 bulan setelah infeksi Streptokokkus dan pada waktu seluruh
manifestasi DR lainnya mereda. Chorea ini merupakan satu-satunya manifestasi
klinis yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak
perempuan dibandingkan pada laki-laki.
o Eritema
marginatum
Eritema marginatum merupakan manifestasi
DR pada kulit, berupa bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat
sedangkan tepinya berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak
nyeri, dan tidak gatal. Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kulit dada dan
bagian dalam lengan atas atau paha, tetapi tidak pernah terdapat di kulit muka.
Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari penderita DR dan merupakan
manifestasi klinis yang paling sukar didiagnosis.
o
Nodul subkutan
Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang
terletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran
antara 3-10mm. Kulit diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat di
bagian ekstensor persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan
kaki. Nodul ini timbul selama 6-10 minggu setelah serangan DR Akut.
§ Manifestasi
klinis minor
Manifestasi klinis
minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik tetapi diperlukan untuk
memperkuat diagnosis DR. Manifestasi klinis minor ini meliputi demam, atralgia,
nyeri perut, dan epistaksis.
Demam hampir selalu ada
pada poliartritis rematik. Suhunya jarang melebihi 39°C dan biasanya kembali
normal dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan. Atralgia adalah
nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi, seperti nyeri, merah, hangat, yang
terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit akan bertambah bila
penderita melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah nyeri perut dan
epistaksis, nyeri perut membuat penderita kelihatan pucat dan epistaksis
berulang merupakan tanda subklinis dari DR.
Para ahli lain ada
menyatakan manifestasi klinis yang serupa yaitu umumnya dimulai dengan demam
remiten yang tidak melebihi 39°C atau arthritis yang timbul setelah 2-3 minggu
setelah infeksi. Demam dapat berlangsung berkali-kali dengan tanda umum berupa
malaise, astenia, dan penurunan berat badan. Sakit persendian dapat berupa
atralgia, yaitu nyeri persendian dengan tanda-tanda panas, merah, bengkak atau
nyeri tekan, dan keterbatasan gerak. Artritis pada DR dapat mengenai beberapa
sendi secara bergantian.
f. Diagnosis
Sebuah
diagnosis PJR dibuat setelah konfirmasi adanya DR. Menurut kriteria Jones
(direvisi tahun 1992) menyediakan pedoman untuk diagnosis demam rematik (AHA,
1992).
Kriteria
Jones menuntut keberadaan 2 mayor atau 1 mayor dan 2 kriteria minor untuk
diagnosis demam rematik.
§ Kriteria
diagnostik mayor termasuk karditis, poliarthritis, khorea, nodul subkutan dan
eritema marginatum.
§ Kriteria
diagnostik minor termasuk demam, arthralgia, panjang interval PR pada EKG,
peningkatan reaktan fase akut (peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit
[ESR]), kehadiran protein C-reaktif, dan leukositosis.
g. Penyakit
jantung katup rematik
PJR dapat menyebabkan penyakit jantung katup dengan
pathogenesis seperti yang dijelaskan di atas. Pada perjalanan penyakit katup
rematik kronis, gejala biasanya tidak muncul sampai bertahun-tahun setelah
serangan awal. Deformitas akhir yang menyebabkan stenosis katup ditandai oleh
penebalan dan penyatuan daun katup. Perubahan ini menyebabkan penyempitan
lubang katup sehingga menghambat aliran darah. Lesi yang berkaitan dengan
insufisiensi katup terdiri atas katup yang menciut dan retraksi yang menghambat
kontak dan pemendekan antar daun katup, menyatukan chordae tendineae yang
menghalangi gerak daun katup. Perubahan ini mengganggu penutupan katup sehingga
menimbulkan aliran balik melalui katup tersebut. Insiden tertinggi penyakit
katup adalah pada katup mitralis, kemudian katup aorta. Kecenderungan menyerang
katup-katup jantung kiri dikaitkan dengan tekanan hemodinamik yang relatif
lebih besar pada katup-katup ini.
§ Stenosis
mitralis
Gejala paling awal pada stenosis mitralis adalah
sesak nafas saat beraktivitas, diikuti dengan mudah mengalami infeksi paru,
ortopnea, dan dispnea nocturnal paroksismal saat istriahat.
§ Insufisiensi
mitralis
Insufisiensi mitralis memungkinan aliran darah
mengalir balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri akibat katup yang tidak
menutup sempurna. Regurgitasi ini dapat menghasilkan beban volume yang lebih
besar pada jantung kiri. Gejala awal insufisiensi mitralis adalah kelemahan dan
kelelahan, sesak nafas saat berakitivas, dan palpitasi.
§ Stenosis
aorta
Stenosis aorta menyumbat aliran darah dari ventrikel
kiri ke dalam aorta selama sistol ventrikel. Hipertrofi ventrikel kiri timbul
sebagai kompensasi terhadap keadaan tersebut, menimbulkan tekanan yang lebih
besar dan mempertahankan perfusi perifer. Tiga gejala khas yang berhubungan
dengan stenosis aorta adalah angina, sinkop, dan kegagalan ventrikel kiri.
§ Insufisiensi
aorta
Insufisiensi aorta menyebabkan reflux darah dari
aorta ke dalam ventrikel kiri selama relaksasi ventrikel. Patofisiologi
insufisiensi aorta adalah dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi ventrikel kiri,
dan sirkulasi perifer yang hiperdinamis.
§ Stenosis
tricuspidalis
Stenosis tricuspidalis menahan aliran darah dari
atrium kanan ke ventrikel kanan selama diastole. Patofisiologinya adalah
dilatasi atrium kanan, kongesti vena, hepatomegali, dan kongesti sistemik.
§ Penyakit
katup pulmonal
Biasanya bersifat congenital dan bukan karena
rematik
III.
Aritmia
a.
Definisi
Aritmia
atau disritmia
adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh konduksi
elektrolit abnormal atau otomatis (Doenges, 1999). Aritmia timbul akibat
perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini
bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik
aktivitas listrik sel (Price, 1994). Gangguan irama jantung tidak hanya
terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan
denyut dan konduksi (Hanafi, 1996).
Aritmia jantung (heart arrhythmia) menyebabkan detak jantung menjadi
terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur. Aritmia jantung umumnya
tidak berbahaya. Kebanyakan orang sesekali mengalami detak jantung yang tidak
beraturan kadang menjadi cepat, kadang melambat. Namun beberapa jenis aritmia
jantung dapat menyebabkan gangguan kesehatan atau bahkan sampai mengancam
nyawa. . Aritmia dan HR abnormal tidak harus terjadi bersamaan. Aritmia dpt terjadi
dg HR yang normal, atau dengan HR yang lambat (disebut bradiaritmia - kurang
dari 60 per menit). Aritmia bisa juga terjadi dengan HR yang cepat (disebut
tachiaritmia - lebih dari 100 per menit).
Gangguan
irama jantung dapat di bagi dua:
1. Gangguan irama fibrilasi(tidak
kuncup)pada atrium beresiko stroke
2. Gangguan irama fibrilasi (tidak
kuncup) pada ventrikel jantung berakibat langsung fatal.
Gangguan irama jantung yang paling
sering terjadi adalah "atrium jantung tidak menguncup" atau fibrilasi-bergetar
kecil saja dan hanya sekali-sekali saja kuncup secara normal dimana yang
seharusnya pacu jantung SA di atrium kiri memberikan pacu untuk atrium jantung
agar menguncup secara teratur tetapi tidak berhasil dan seluruh dinding atrium
hanya bergetar saja tanpa memompa jantung alias ngadat, hal akan sangat
berbahaya dan beresiko untuk terjadinya stroke. Walaupun atrium tidak menguncup
sempurna karena adanya gangguan irama tetapi darah masih dapat mengalir lambat
ke ventrikel jantung dan selanjutnya dipompakan keseluruh tubuh.
Kejadian fibrilasi tidak kuncup yang
terjadi pada ventrikel jantung maka akan mengakibatkan kefatalan karena tidak
adanya darah yang dipompakan keluar jantung, dan dengan sekejap saja orang
dapat meninggal. Akibatnya Gangguan Irama pada atrium jantung ini membahayakan
karena sebagai akibat aliran darah yang tidak lancar dalam atrium jantung dapat
terbentuk bekuan darah yang semakin besar dimana kemudian bekuan ini dapat
lepas dan menyangkut di otak serta menimbulkan stroke. Bekuan darah ini dapat
juga lepas dan meyangkut di ginjal serta menimbulkan gagal ginjal.
b. Tipe
Aritmia
o Premature atrial contractions. Ada denyut tambahan di awal yg
berasal dari atrium (ruang jantung bagian atas). Ini tidak berbahaya dan tidak
memerlukan terapi.
o Premature venticular contractions
(PVCs).
Ini merupakan aritmia yang paling umum dan terjadi pd orang dengan atau tanpa
penyakit jantung. Ini merupakan denyut jantung lompatan yang kita semua kadang2
mengalami. Pada beberapa orang, ini bisa berkaitan dengan stres, terlalu banyak
kafein atau nikotin, atau terlalu banyak latihan. Tetapi kadang-kadang, PVCs
dpt disebabkan oleh penyakit jantung atau ketidakseimbangan elektrolit. Orang
yang sering mengalami PVCs dan/atau gejala2 yg berkaitan dgnya sebaiknya
dievaluasi oleh seorang dokter jantung. Namun, pada kebanyakan orang, PVC
biasanya tidak berbahaya dan jarang memerlukan terapi.
o Atrial fibrilasi (AF). Ini merupakan irama jantung tidak
teratur yang sering menyebabkan atrium, ruang atas jantung, berkontraksi secara
abnormal.
o Atrial flutter. Ini merupakan aritmia yang
disebabkan oleh satu atau lebih sirkuit yang cepat di atrium. Atrial flutter
biasanya lebih terorganisir dan teratur dibandingkan dengan atrial fibrilasi.
Aritmia ini terjadi paling sering pada orang dengan penyakit jantung, dan
selama minggu pertama setelah bedah jantung. Aritmia ini sering berubah menjadi
atrial fibrilasi.
o Paroxysmal supraventricular
tachycardia (PSVT). Suatu HR yang cepat, biasanya dengan irama yang teratur,
berasal dari atas ventrikel. PSVT mulai dan berakhir dg tiba2. Terdapat dua
tipe utama : accessory path tachycardia dan AV nodal reentrant tachycardia
(lihat bawah).
o Accessory pathway tachicardia. HR yang cepat disebabkan oleh jalur
atau hubungan extra yang abnormal antara atrium dan ventrikel. Impuls berjalan
melewati jalur ekstra selain juga melewati rute biasa. Ini membuat impuls
berjalan di jantung dg sangat cepat menyebabkan jantung berdenyut dg cepat.
o AV nodal reentrant tachycardia. HR yang cepat disebabkan lebih
dari satu jalur melewati AV node. Ini dapat menyebabkan palpitasi (jantung
berdebar), pingsan atau gagal jantung. Pada banyak kasus, ini dapat disembuhkan
dg menggunakan suatu manuver sederhana yang dilakukan oleh seorang profesional
medis yang terlatih, dg obat2an atau dengan suatu pacemaker.
o Ventricular tachycardia (V-tach). HR yang cepat yang berasal dari
ruang bawah jantung (ventrikel). Denyut yang cepat mencegah jantung terisi
cukup darah, oleh karena itu, hanya sedikit darah yang terpompa ke seluruh tubuh.
Ini dapat mrp aritmia yang serius, khususnya pd orang dengan penyakit jantung
dan mkn berhubungan dg lebih banyak gejala. Seorang dokter jantung sebaiknya
mengevaluasi aritmia ini.
o Ventricular fibrilasi. Letupan impuls yang tidak teratur
dan tidak terorganisir yang berasal dari ventrikel. Ventrikel gemetar dan tidak
mampu berkontraksi atau memompa darah ke tubuh. Ini merupakan kondisi emergensi
yang harus diterapi dg CPR dan defibrilasi sesegera mungkin.
o Long QT syndrome. Interval QT adalah area pd ECG
yang merepresentasikan waktu yang diperlukan otot jantung untuk berkontraksi
dan kemudian relaksasi, atau yang diperlukan impuls listrik utk meletupkan
impuls dan kmd recharge. Jika interval QT memanjang, ini meningkatkan resiko
terjadinya “torsade de pointes”, suatu bentuk ventricular tachicardia yang
mengancam hidup. Long QT syndrome merupakan suatu kondisi yang diturunkan yang
dapat menyebabkan kematian mendadak pada orang muda. Ini dapat diterapi dengan
obat2 antiaritmia, pacemaker, electrical cardioversion, defibrilasi,
defibrilator/cardioverter implant atau terapi ablasi.
o Bradiaritmia. Ini merupakan irama jantung yang
pelan yang dapat muncul dari kelainan pada sistem konduksi listrik jantung.
Contohnya adalah sinus node dysfunction dan blok jantung.
o Sinus node dysfunction. HR yang lambat yang disebabkan oleh
SA node yang abnormal. Diterapi dengan pacemaker.
o Blok jantung. Suatu penundaan (delay) atau blok
total impuls listrik ketika berjalan dari sinus node ke ventrikel. Blok atau
delay dapat terjadi pada AV node atau sistem HIS purkinje. Jantung berdenyut
ireguler dan sering lebih lambat. Jika serius blok jantung perlu diterapi
dengan pacemaker.
c. Macam-Macam Aritmia
o
Sinus Takikardi: Meningkatnya aktifitas nodus sinus, gambaran yang penting pada
ECG adalah : laju gelombang lebih dari 100 X per menit, irama teratur dan ada
gelombang P tegak disandapan I,II dan aVF.
o
Sinus bradikardi: Penurunan laju depolarisasi atrium. Gambaran yang terpenting pada
ECG adalah laju kurang dari 60 permenit, irama teratur, gelombang p tgak
disandapan I,II dan aVF.
o
Komplek atrium premature: Impuls listrik yang berasal di atrium tetapi
di luar nodus sinus menyebabkan kompleks atrium prematur, timbulnya sebelu
denyut sinus berikutnya. Gambaran ECG menunjukan irama tidak teratur, terlihat
gelombang P yang berbeda bentuknya dengan gelombang P berikutnya.
o
Takikardi Atrium: Suatu episode takikardi atrium biasanya diawali oleh suatu
kompleks atrium prematur sehingga terjadi reentri pada tingkat nodus AV.
o
Fluter atrium: Kelainan ini karena reentri pada tingkat atrium. Depolarisasi
atrium cept dan teratur, dan gambarannya terlihat terbalik disandapan II,III
dan atau aVF seperti gambaran gigi gergaji
o
Fibrilasi atrium: Fibrilasi atrium bisa tibul dari fokus ektopik ganda dan atau
daerah reentri multipel. Aktifitas atrium sangat cepat.sindrom sinus sakit
o
Komplek jungsional prematur
o
Irama jungsional
o
Takikardi ventrikuler
d. Penyebab dan factor resiko gangguan
irama jantung
Etiologi aritmia jantung
dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :
o
Peradangan
jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard (miokarditis karena
infeksi)
o
Gangguan
sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner), misalnya
iskemia miokard, infark miokard.
o
Karena
obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-obat anti
aritmia lainnya
o
Gangguan
keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia)
o
Gangguan
pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan irama jantung
o
Ganggguan
psikoneurotik dan susunan saraf pusat.
o
Gangguan
metabolik (asidosis, alkalosis)
o
Gangguan
endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme)
o
Gangguan
irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung
o
Gangguan
irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis sistem konduksi jantung)
Faktor-faktor tertentu dapat
meningkatkan resiko terkena aritmia jantung atau kelainan irama
jantung.
Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah:
o Penyakit
Arteri Koroner
Penyempitan arteri jantung, serangan jantung, katup jantung abnormal,
kardiomiopati, dan kerusakan jantung lainnya adalah faktor resiko untuk hampir
semua jenis aritmia jantung.
o Tekanan
Darah Tinggi
Tekanan darah tinggi dapat
meningkatkan resiko terkena penyakit arteri koroner. Hal ini juga menyebabkan
dinding ventrikel kiri menjadi kaku dan tebal, yang dapat mengubah jalur impuls
elektrik di jantung.
Terlahir dengan kelainan jantung
dapat memengaruhi irama jantung.
o Masalah
pada Tiroid
Metabolisme tubuh dipercepat ketika
kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid terlalu banyak. Hal ini dapat
menyebabkan denyut jantung menjadi cepat dan tidak teratur sehingga
menyebabkan fibrilasi atrium (atrial fibrillation). Sebaliknya,
metabolisme melambat ketika kelenjar tiroid tidak cukup melepaskan hormon
tiroid, yang dapat menyebabkan bradikardi (bradycardia).
o Obat dan
Suplemen
Obat batuk dan flu serta obat lain
yang mengandung pseudoephedrine dapat berkontribusi pada terjadinya aritmia.
o Obesitas
Selain menjadi faktor resiko untuk penyakit jantung
koroner,
obesitas dapat meningkatkan resiko terkena aritmia jantung.
o Diabetes
Resiko terkena penyakit jantung koroner dan tekanan darah tinggi
akan meningkat akibat diabetes yang tidak terkontrol. Selain itu, gula darah
rendah (hypoglycemia) juga dapat memicu terjadinya aritmia.
o Obstructive
Sleep Apnea
Obstructive sleep apnea disebut juga
gangguan pernapasan saat tidur. Napas yang terganggu, misalnya mengalami henti
napas saat tidur dapat memicu aritmia jantung dan fibrilasi atrium.
o Ketidakseimbangan
Elektrolit
Zat dalam darah seperti kalium,
natrium, dan magnesium (disebut elektrolit), membantu memicu dan mengatur
impuls elektrik pada jantung. Tingkat elektrolit yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah dapat memengaruhi impuls elektrik pada jantung dan memberikan
kontribusi terhadap terjadinya aritmia jantung.
o Terlalu
Banyak Minum Alkohol
Terlalu banyak minum alkohol dapat
memengaruhi impuls elektrik di dalam jantung serta dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya fibrilasi atrium (atrial fibrillation). Penyalahgunaan
alkohol kronis dapat menyebabkan jantung berdetak kurang efektif dan dapat
menyebabkan cardiomyopathy (kematian otot jantung).
o Konsumsi
Kafein atau Nikotin
Kafein, nikotin, dan stimulan lain
dapat menyebabkan jantung berdetak lebih cepat dan dapat berkontribusi terhadap
resiko aritmia jantung yang lebih serius. Obat-obatan ilegal, seperti amfetamin
dan kokain dapat memengaruhi jantung dan mengakibatkan beberapa jenis aritmia
atau kematian mendadak akibat fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation).
e.
Tanda Dan Gejala Aritmia
o Perubahan tekanan darah ( hipertensi atau
hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi
ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema; pengeluaran
urin menurun bila curah jantung menurun berat.
o
Sinkop,
pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan
pupil.
o
Nyeri
dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina,
gelisah
o
Nafas
pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan
(krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti
pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal;
hemoptisis.
o
Demam;
kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis
siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan
o
Palpitasi
o
Pingsan
o
Rasa tidak nyaman di dada
o
Lemah atau keletihan (perasaan
o
Detak jantung cepat (tachycardia)
o
Detak jantung lambat (bradycardia)
f.
Pemeriksaan
Gangguan Irama Jantung
o
EKG: menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan
konduksi. Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan
elektrolit dan obat jantung.
o
Monitor
Holter: Gambaran EKG (24 jam)
mungkin diperlukan untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala
khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
o
Foto thorax: Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung
sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup
o
Scan
pencitraan miokardia: dapat
menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi
normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa.
o
Stress
test: dapat dilakukan utnnuk
mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan disritmia.
o
Elektrolit: Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium
dan magnesium dapat mnenyebabkan disritmia.
o
Pemeriksaan
obat: Dapat menyatakan toksisitas
obat jantung, adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis,
quinidin.
o
Pemeriksaan
tiroid: peningkatan atau penururnan
kadar tiroid serum dapat menyebabkan.meningkatkan disritmia.
o
Laju
sedimentasi: Penignggian dapat
menunukkan proses inflamasi akut contoh endokarditis sebagai faktor pencetus
disritmia.
o
GDA/nadi
oksimetri: Hipoksemia dapat
menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia.
g. Tatalaksana
1. Anti
aritmia
o
Terapi
medis
v
Anti
aritmia Kelas 1: sodium channel blocker
·
Kelas 1
A
Quinidine adalah obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan untuk
mencegah berulangnya atrial fibrilasi atau flutter.
Procainamide untuk ventrikel ekstra sistol atrial fibrilasi dan aritmi yang
menyertai anestesi.
Dysopiramide untuk SVT akut dan berulang
·
Kelas 1
B
Lignocain
untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard, ventrikel takikardia.
Mexiletine
untuk aritmia entrikel dan VT
·
Kelas 1
C
Flecainide untuk ventrikel
ektopik dan takikardi
v
Anti
aritmia Kelas 2 (Beta adrenergik blokade)
Atenolol,
Metoprolol, Propanolol: indikasi aritmi jantung, angina pektoris dan hipertensi
v
Anti
aritmia kelas 3 (Prolong repolarisation)
Amiodarone, indikasi VT, SVT berulang
v
Anti
aritmia kelas 4 (calcium channel blocker)
Verapamil, indikasi supraventrikular aritmia
o
Terapi
mekanis
·
Kardioversi: mencakup pemakaian arus listrik untuk
menghentikan disritmia yang memiliki kompleks GRS, biasanya merupakan prosedur
elektif.
·
Defibrilasi: kardioversi asinkronis yang digunakan pada
keadaan gawat darurat.
·
Defibrilator
kardioverter implantabel: suatu
alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takikardi ventrikel yang mengancam
jiwa atau pada pasien yang resiko mengalami fibrilasi ventrikel.
·
Terapi
pacemaker: alat listrik yang mampu
menghasilkan stimulus listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol
frekuensi jantung.
2.
Penyakit Jantung
Rematik
o
Pencegahan Primordial
Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan
setiap orang yang sehat supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam
penyakit termasuk penyakit jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta
memelihara kesehatan dan kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya
dapat mempergunakan tubuh dan jiwa dengan baik untuk melangsungkan hidupnya
sehari-hari.
Cara
tersebut adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang mencakup memakan
makanan dan minuman yang menyehatkan, gerak badan sesuai dengan pekerjaan
sehari-hari dan berolahraga, usaha menghindari dan mencegah terjadinya depresi,
dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.
o
Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini
ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR seringkali disertai pula dengan
adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha pencegahan primer terhadap PJR Akut
sebaiknya dimulai terutama pada pasien anak-anak yang menderita penyakit radang
oleh streptococcus beta hemolyticus grup A pada pemeriksaan THT
(telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya dengan melakukan pemeriksaan
radang pada anak-anak yang menderita radang THT, yang biasanya menyebabkan
batuk, pilek, dan sering juga disertai panas badan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui kuman apa yang meyebabkan radang pada THT tersebut. Selain itu,
dapat juga diberikan obat anti infeksi, termasuk golongan sulfa untuk mencegah
berlanjutnya radang dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya DR. Pengobatan
antistreptokokkus dan anti rematik perlu dilanjutkan sebagai usaha pencegahan
primer terhadap terjadinya PJR Akut
o
Pencegahan Sekunder
Pencegahan
sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi streptococcus beta
hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan tersebut dilakukan
dengan cara, diantaranya :
·
Eradikasi kuman Streptococcus
beta hemolyticus grup A
Pemusnahan kuman Streptococcus harus
segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin
dengan dosis 1,2 juta unit selama 10 hari. Pada penderita yang alergi pada
penisilin, dapat diganti dengan eritromisin dengan dosis maksimum 250mg yang
diberikan selama 10 hari. Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap
tenggorokan negative, kerana kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam
jaringan faring dan tonsil.
·
Obat anti radang
Pengobatan
anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam rematik,
seperti salasilat dan steroid. Kedua obat tersebut sangat efektif untuk
mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut. Lebih khusus
lagi, salisilat digunakan untuk DR tanpa karditis dan steroid digunakan untuk
memperbaiki keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju endapan
darah cepat menurun. Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya
penyakit.
·
Diet
Bentuk
dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar
kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang cukup. Selain itu
diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas, dan serat untuk
menghindari konstipasi. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui
makanan dapat diberikan tambahan berupa vitamin atau suplemen gizi.
·
Tirah baring
Semua pasien DR Akut harus tirah baring
di rumah sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat
gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal
serangan, sehingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.
o
Pencegahan Tertier
Pencegahan
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana penderita akan
mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral, insufisiensi
mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta.
3.
Penyakit Jantung Katup
dan Penyakit Jantung Bawaan
Menurut
SKDI 2012, Penyakit Jantung Katup dan Penyakit Jantung Bawaan mendapat poin 2
yang berarti kompetensi dokter umum hanya untuk mendiagnosis dan merujuk kepada
dokter spesialis.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario ini, pasien sering mengalami batuk
pilek, cepat lelah, mempunyai riwayat lahir prematur, bila menangis bibir tidak
tampak kebiruan, napsu makan sedikit terganggu, tumbuh kembang masih dalam
batas normal dan pada waktu balita pernah didiagnosis mempunyai kelainan
jantung. Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti EKG dan foto
torak didapatkan adanya kardiomegali terutama pembesaran pada ventrikel dan
atrium kiri (axis ke kiri), sedangkan tekanan darah, denyut nadi dan
pemeriksaan hematologi rutin pasien normal. Selain didapatkan adanya
kardiomegali, pada pemeriksaan fisik juga didapatkan adanya bising pansistolik
dengan punctum maksimum di SIC IV-V parasternal kiri dan pada ektremitas tidak
didapatkan adanya jari tabuh dan sianosis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas, kami
mendiagnosis bahwa pasien menderita kelainan jantung bawaan, lebih tepatnya
penyakit VSD (Ventricel Septal Defect). Sedangkan Diferensial Diagnosis kami
antara lain : ASD Primer (Atrium Septal Defect), Insufisiensi Mitral,
Insufisiensi Aorta, Stenosis Aorta, PDA (Persistent Duktus Arteriosus) dan
Coarctatio Aorta. Alasan kami menyebutkan kelainan-kelainan di atas, adalah
karena pasien tidak menunjukkan adanya gejala sianotik dan mengalami hipertrofi
ventrikel dan atrium kiri. Kelainan jantung bawaan non sianotik yang
menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel dan atrium kiri adalah VSD, ASD Primer,
Insufisiensi Mitral, Insufisiensi Aorta, Stenosis Aorta, PDA dan Coarctatio
Aorta.
Pada penyakit ASD Primer, sesak napas dan rasa capek
sering merupakan keluhan awal, demikian juga pula dengan infeksi napas yang
berulang. Hal ini hampir sama seperti keluhan pasien skenario ini, akan tetapi
pada penyakit ini pemeriksaan fisik akan didapatkan splitting bunyi jantung II
(walaupun tidak selalu ada), bising sistolik tipe injeksi pada daerah pulmonal,
bising mid diastolik pada daerah trikuspid, pada pemeriksaan EKG menunjukkan
axis ke kanan (menunjukkan adanya pembesaran atrium dan ventrikel kanan).
Pembesaran ruang jantung kiri (ventrikel dan atrium kiri) akan terjadi apabila
derajat penyakit sudah parah.
Kelainan Insufisiensi Mitral (Mitral Regurgitation) mempunyai
bising yang khas yang merupakan tanda utama kelainan ini, yaitu bising
holosistolik/pansistolik yang meliputi bunyi jantung I sampai bunyi jantung II,
murmur ini biasanya bersifat blowingakan tetapi juga bisa bersifat kasar.
Punctum maximum bising tersebut terdengar di apeks dan menjalar ke aksila. Hal
ini berbeda dengan hasil pemeriksaan fisik di skenario di mana punctum maximum
bising pansistolik-nya terletak di SIC IV-Vparasternal kiri, sedangkan apeks
jantung terletak di SIC IV-V linea midclavicularis kiri.
Pada Insufisiensi Aorta (Aorta Regurgitation)
terdapat murmur yang khas, yaituAustin Flint Murmur (akibat adanya aliran darah
balik Aorta yang menabrak cuspis anterior katup mitral) atau bising mid/late
diastolik. Untuk kelainan karena stenosis aorta, pada pemeriksaan fisik akan
ditemukan paradoxical splitting pada bunyi jantung II dan pulsus parvus et
tardus. Pada auskultasi akan didapatkan diamond shaped murmursistolik, pada
pasien dewasa muda akan terdengar bunyi ejeksi sistolik (klik) pada apeksdan
akan tampak gambaran dilatasi post aortic stenosis pada foto rontgen dada. Pada
penyakit PDA akan didapatkan bising yang kontinyu (machinery murmur) pada garis
sternal kiri atas menyebar ke belakang.
Pada Coarctatio Aorta, pasien akan mengalami hipertensi
bagian atas, sehingga pasien mempunyai gejala yang khas seperti sakit kepala,
perdarahan hidung, melayang, tinnitus, tungkai dingin, angina abdomen. Pada
pemeriksaan fisik juga akan didapatkan bahwa tekanan sistolik pada lengan lebih
tinggi daripada tungkai sedangkan tekanan diastoliknya normal. Pada foto
rontgen dada, akan didapatkan adanya dilatasi aorta asenden, kinking atau
gambaran double contour di daerah aorta desenden sehingga terlihat gambaran
seperti angka tiga di bawah aortic knob, serta pelebaran bayangan jaringan
lunak dari arteri subklavia kiri.
Dari penjelasan kelainan di atas, diketahui bahwa
adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan pada skenario dengan hasil
pemeriksaan kelainan tadi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien tidak
sedang menderita penyakit tersebut.Kelainan jantung bawaan terakhir yang akan kami
bahas adalah VSD. Penderita VSD dengan aliran pirau yang besar biasanya
terlihat takipneu, aktivitas ventrikel yang meningkat dan dapat teraba thrill
sistolik, komponen pulmonal bunyi jantung kedua mengeras bila telah terjadi
hipertensi pulmonal. Pada pemeriksaan auskultasi akan terdengar bising
pansistolik/holosistolik yang terdengar keras (punctum maximum) di SIC III-IV
parasternal kiri yang menyebar sepanjang parasternal dan apeks.
Pemeriksaan EKG dan foto toraks akan terlihat
kardiomegali akibat LVH dan LAH. Adanya kesamaan hasil pemeriksaan fisik yang
didapatkan pada kasus di skenario dengan hasil pemeriksaan yang biasa
didapatkan pada penderita VSD inilah, yang menjadi alasan mengapa kami
mendiagnosis bahwa anak pada skenario II menderita VSD. Defek kecil pada VSD
bersifat benigna, dan dapat menutup spontan tergantung tipenya dan biasanya
tidak mengganggu pertumbuhan, sekitar 90% pasien mengalami penutupan spontan
pada usia 10 tahun, karena defek septum ini menutup dengan bertambahnya usia
kecuali defek sub aortic, sub pulmonik atau defek tipe kanal. Oleh karena itu
diperlukan satu lagi pemeriksaan penunjang, yaitu ekokardiografi untuk
mengetahui lokasi defek (tipe defek), ukuran defek, arah dan gradien aliran
serta kelainan lainnya, sehingga arah penatalaksanaan pada pasien jelas.
Batuk pilek pada pasien kemungkinan karena basahnya
traktus respiratorius yang basah sebagai akibat transudasi cairan akibat
peningkatan tekanan intravaskuler pada kapiler paru, sehingga saluran napas
rentan mengalami infeksi.
Gejala cepat lelah timbul sering kali akibat curah
jantung yang rendah dan perfusi aliran darah perifer yang kurang. Pada
ekstremitas tidak terlihat jari tabuh dan sianosis menunjukkan adanya hipoksia
pada jaringan perifer tubuh, pada kasus VSD gejala ini muncul apabila sudah
terjadi sindrom Eisenmenger di mana terjadi aliran dari kanan ke kiri sehingga
tercampurnya darah kaya oksigen dengan yang miskin oksigen.
Sedangkan hubungan antara kelahiran bayi prematur
dan kelainan jantung kongenital, terdapat angka prevalensi yang cukup tinggi
bahwa bayi yang lahir prematur lebih sering menderita kelainan jantung bawaan
daripada bayi yang lahir tidak prematur.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa pasien menderita
VSD. Bayi prematur memiliki prevalensi yang tinggi untuk menderita penyakit
jantung bawaan. Perlu dilakukan pemeriksaan ekokardiografi untuk merencanakan
tindakan penatalaksanaan selanjutnya.
B. SARAN
·
Mahasiswa perlu mencari
bahan diskusi secara mendalam untuk mengetahui mekanisme penyakit yang ada pada
skenario.
·
Riwayat pasien sangat
penting berkaitan dengan penyakit yang diderita saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Vinay. MD, FRCPath. Cotran,
Ramzi S, MD. Robbins, Stanley L, MD.
2007. Buku Ajar Patologi Robbins
Volume 2 Edisi 7. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine
M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Siregar, Abdullah Afif. 2008.
Demam Rematik dan Penyakit Jantung
Rematik Permasalahan Indonesia. Medan: FK USU.
Roebiono, Poppy S, dr. SpJp. 2004.
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Jakarta: FKUI.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25847/4/Chapter%20II.pdf.
Penyakit Jantung Bawaan. Diakses 26 Mei 2014.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23407/4/Chapter%20II.pdf.
Kelainan Bawaan pada Jantung. Diakses 26
Mei 2014.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/tutorials/arrhythmias/ct099106.pdf.
Arrythmia. Diakses 27 Mei 2014.
terimakasih banyak untuk informasinya, sangat bermanfaat
ReplyDeletehttp://herbalkuacemaxs.com/pengobatan-herbal-jantung-rematik/